Legenda Paus Yohana

oleh: P. William P. Saunders *

Baru-baru ini salah satu jaringan televisi menayangkan suatu program mengenai “Paus Yohana”. Tayangan televisi ini tidak cukup jelas apakah kisah ini benar atau tidak. Mohon tanggapan.
~ seorang pembaca di Arlington

Pada tanggal 29 Desember, Diane Sawyer memang menyajikan suatu “laporan khusus” mengenai “Paus Yohana,” yang disiarkan ABC. Tentu saja, program ini berlangsung dengan banyak iklan komersial. “Laporan khusus” ini berfokus pada wawancara dengan Donna Cross yang menulis sebuah buku mengenai hal ini. Seperti buku The DaVinci Code, wawancara ini berlangsung dengan menjalin sedikit informasi historis dengan kebenaran separuh, dongeng legenda dan kisah-kisah fiksi lainnya. Sawyer juga mewawancarai seorang mantan biarawati yang mendukung, dan secara singkat mewawancarai pula sejarahwan yang dapat dipercaya, yang mendiskreditkan kisah Paus Yohana. Di akhir acara, tidak ada kesimpulan pasti yang dibuat, membuat orang bertanya-tanya, “Apa maksud laporan khusus ini?” Penulis artikel ini juga ditinggalkan dalam keadaan perut mual karena muak.

Legenda Paus Yohana muncul dalam tulisan-tulisan seorang Dominikan, Jean de Mailly, pada abad ke-13. Dari karya ini, seorang Dominikan lain, Etienne de Bourbon (wafat 1261), memasukkan legenda ini dalam karyanya “Tujuh Karunia Roh Kudus”.

Legenda ini berkisah tentang seorang perempuan yang cerdas serta berbakat bernama Yohana Anglicus yang ingin meraih kesempatan-kesempatan yang tak tersedia bagi perempuan pada masa itu, melainkan hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Maka, ia berdandan layaknya seorang laki-laki. Dengan menyamar sebagai seorang laki-laki, ia pergi ke Athena dengan disertai kekasihnya dan mengejar pendidikan yang lebih tinggi (lagi, yang terbuka hanya bagi kaum laki-laki pada masa itu). Ia kemudian pindah ke Roma, di mana ia mengajar ilmu pengetahuan dan mendapatkan reputasi yang baik di bidang akademis. Pada akhirnya ia menjadi seorang notaris di Kuria Kepausan dan kemudian menjadi seorang kardinal. Setelah wafatnya Paus Leo IV, ia dipilih menjadi paus; sementara itu ia tetap merahasiakan penyamarannya sebagai seorang laki-laki. Alkisah, ia hamil oleh salah satu kekasihnya. (Sulit dibayangkan bahwa jenis kelaminnya tetap tertutup rapat sebagai rahasia di tengah para kekasihnya dan para pejabat kuria). Suatu hari, dalam prosesi dari Basilika St Petrus ke St Yohanes Lateran, dan di suatu tempat antara Colosseum dan St. Clement, ia melahirkan seorang putera. Tak usah dikatakan lagi bahwa arak-arakan pun berhenti. Sesudah itu, legenda memiliki berbagai versi kisah akhir: di salah satu versi, ia mati seketika; di versi lainnya, ia diikatkan pada seekor kuda dan diseret sekeliling kota, dirajam hingga tewas dan dikuburkan; dan akhirnya, dalam versi yang lain lagi, ia diusir dan dihukum untuk melakukan penitensi. Salah satu versi juga menceritakan bahwa puteranya kelak menjadi Uskup Ostia. Patut dicamkan bahwa semua kisah di atas adalah fiksi belaka.

Tampaknya, legenda tersebut memiliki dampak begitu rupa hingga banyak orang mempercayainya sebagai suatu kebenaran (sama seperti dampak The DaVinci Code). Sebagai misal, di Katedral Siena, di barisan patung (sebatas wajah hingga dada) para paus yang berjajar di panti umat, pada mulanya didapati pula patung Paus Yohana. Entah ini dilakukan sebagai suatu olok-olok atau sekedar akibat ketidaktahuan merupakan perdebatan. Tetapi, Paus Klemens VIII, guna menghindari skandal dan memelihara kebenaran, memerintahkan agar patung itu diubah menjadi patung Paus Zakaria. Juga, Yohana tidak termasuk dalam jajaran gambar resmi para paus yang digantung di tembok-tembok St Paulus Luar Tembok di Roma. Di kemudian hari, John Hus, seorang bidaah radikal pada tahun 1400-an, menyebut “Paus Yohana” guna mendiskreditkan seluruh kepausan.

Patut dicamkan bahwa bahkan pada abad ke-15, para sarjana seperti Aeneas Silvius (Epistles) dan Platina (Vitae Pontificum), dengan mempergunakan metoda historis-kritikal mendiskreditkan legenda ini sebagai isapan jempol belaka. Pada abad ke-16, sarjana seperti Onofrio Panvinio (Vitae Pontificum), Aventinus (Annales Boiorum), Baronius (Annales) dan yang lainnya mendukung pendapat ini. Bahkan para sarjana Protestan mendapati legenda ini tak dapat dipertanggungjawabkan: Blondel (Joanna papissa) dan Leibniz (Flores sparsae in tumulum Papissae). Namun demikian, sebagian Protestan, teristimewa di Amerika, terus mempergunakan legenda ini guna mendiskreditkan kepausan, meski legenda ini jelas sekedar dongeng belaka.

Bukti-bukti sanggahan utama terhadap legenda “Paus Yohana” adalah sebagai berikut: Pertama, “Paus Yohana” tidak ada dalam daftar Liber Pontificalis (daftar resmi para paus yang disusun dengan cermat dan akurat secara kronologis). Jika legenda benar, maka Paus Yohana menggantikan Paus Leo IV, seorang kudus yang dianugerahi beberapa karunia mukjizat, yang wafat pada tanggal 17 Juli 855. Sesungguhnya, segera sesudah Paus Leo IV wafat, dipilih Paus Benediktus III sebagai penerus Petrus. Terjadi ketegangan kala itu karena Kaisar Byzantine berusaha agar puteranya sendiri yang dikenai ekskomunikasi, Anastasius, dinobatkan sebagai paus. Pasukan kerajaan dengan dipimpin Anastasius menyerbu Roma, menguasai istana Lateran, dan menjebloskan Paus Benediktus ke dalam penjara. Tetapi, umat beriman Roma menolak Anastasius dan memberontak. Mereka berhasil membebaskan Paus Benediktus yang secara resmi dinobatkan pada tanggal 29 September 855. Menariknya, Paus Benediktus berbelas kasihan kepada Anastasius dan akhirnya menjadikannya seorang abbas. Satu hal menarik adalah bahwa gambar Paus Benediktus muncul bersama dengan gambar Kaisar Romawi Lothair pada mata uang logam yang dicetak sebelum tanggal 29 September; ini menguatkan bahwa Paus Benediktus telah diakui sejak saat pemilihannya sebagai paus yang sebenarnya. Sebab itu, tak ada tempat bagi Paus Yohana.

Beberapa sumber legenda lainnya menempatkan Paus Yohana dalam masa pontifikat yang lain. Tetapi, catatan sejarah yang ada menjadi bahkan semakin spesifik dan detail mengenai peristiwa-peristiwa dan tanggal-tanggal seputar kepausan. Secara historis, tidak ada Paus Yohana, yang diperkirakan sebagai paus samaran selama lebih dari dua tahun.

Kedua, tak pernah disebut-sebut akan adanya Paus Yohana hingga pertengahan abad ke-12. Mengingat “kemunculannya” yang dramatis, semestinya pastilah ada catatan sejarah yang mencatat masa pontifikatnya. Jelas bahwa legenda ini dibuat 400 tahun kemudian.

Ketiga, didapati adanya kemungkinan-kemungkinan lain mengenai asal-usul legenda. St Robertus Bellarmino mengemukakan bahwa legenda ini dibawa dari Konstantinopel ke Roma guna mendiskreditkan legitimasi kepausan. Ingat bahwa dengan jatuhnya Roma dan sebelah barat Kekaisaran Romawi kuno, Patriark Konstantinopel yakin bahwa dialah yang seharusnya menjadi pemimpin Gereja, yang sesungguhnya merupakan salah satu alasan skisma antara Gereja Katolik dan Orthodox pada tahun 1054. Baronius mengemukakan bahwa kemungkinan legenda ini muncul karena kelemahan Paus Yohanes VIII (872-882) yang kewanita-wanitaan, meski pernyataan ini juga diperdebatkan.

Dua point terakhir: “laporan khusus” ABC menyebutkan adanya sebuah kursi paus khusus yang dipergunakan untuk memeriksa jenis kelamin paus yang baru; namun diakui di legenda bahwa tidak pernah ada catatan “saksi mata” mengenai test ini. Dalam kenyataannya, paus yang baru terpilih didudukkan di sebuah tahta pualam, seringkali serupa sebuah bangku mandi kuno yang tak lazim di Roma. Bangku-bangku yang demikian telah dipergunakan dalam peristiwa-peristiwa kepausan jauh sebelum disebut-sebut adanya seorang Paus Yohana. Karena lamanya upacara-upacara kepausan, paus memang mempergunakan semacam tahta yang demikian guna merilekskan diri. Menyimpulkan lain dari itu jelas vulgar atau setidaknya sesat.

Terakhir, legenda tersebut menyebut adanya baldachino yang indah yang dibuat Bernini di atas altar kepausan di St Petrus dan bagaimana di dasar pilar-pilar itu telah diukirkan suatu pergerakan wajah seorang perempuan yang mengekspresikan sakit dan sukacita beranak. “Laporan khusus” ABC mengindikasikan bahwa ukiran-ukiran ini adalah ukiran Paus Yohana sementara ia melahirkan. Aduh, saya mohon! Bernini adalah seorang yang saleh, yang dimakamkan di dekat pagar altar Basilika St Maria Maggiore. Suatu penjelasan yang lebih masuk akal adalah apa yang dikatakan Yesus dalam percakapan perpisahan kepada para rasul pada Perjamuan Malam Terakhir: “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia. Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yoh 16:21-22). Kendati susah payah dan penderitaan kita di sini dan sekarang ini, kita pula hendaknya bersukacita bahwa dalam setiap Misa, Kristus datang kembali kepada kita dalam anugerah Ekaristi Kudus.

Sementara menyaksikan “laporan khusus” ABC, saya merasa mendongkol karena propaganda anti-Katolik yang jelas di sana. Di samping membahas legenda “Paus Yohana”, Diane Sawyer dan Donna Cross menunjukkan kecenderungan feminist mereka. Mereka mempercakapkan perlakuan buruk terhadap perempuan pada masa itu, termasuk pemukulan isteri dan tidak adanya kesempatan pendidikan. Diane Sawyer mengomentari bahwa “perempuan secara terang-terangan disingkirkan dari lingkaran kekuasaan” oleh Gereja, dan dengan demikian memunculkan motivasi dalam diri Paus Yohana untuk menyamar. Bahkan dalam wawancara, Donna Cross dengan senyum sinis mengatakan, “Lihatlah apa yang aku singkapkan mengenai Gereja Katolik yang patriarkal dan keji.” Aduh, adakah pikiran sempit tak akan pernah berakhir? Di waktu mendatang, berhati-hatilah terhadap “laporan khusus” ABC, teristimewa di masa Natal. Ganti saluran televisimu atau bacalah buku-buku yang baik, yang akurat secara historis.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Academy in Alexandria. sumber : “Straight Answers: The Fable of `Pope Joan'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments: