Ada sebuah cerita mengenai seorang Jenderal besar Perancis: NapoleoBoneparte, ketika ia sedang berperang di Timur Tengah. Pada saat itu, Perancis berhasil merebut kota Jaffa dan juga menawan 1200 orang Prajurit Turki. Ketika itu pula Napoleon sedang terserang influenza dan batuk berat. Dan pada saat Napoleon melakukan inspeksi terhadap pasukan dan tawanan, ia berniat untuk membebaskan 1200 orang prajurit Turki yang ditawan itu. Ketika ia selesai melakukan inspeksi, ia kemudian terserang batuk dan berkata: Ma Sacre Toux..!! (Batuk Sialan). Namun seorang Perwira pendamping Napoleon mengira ia berkata: Massacrez Tous (Bunuh Semua). Dan tanpa pikir panjang, Perwira itupun langsung memerintahkan seluruh Prajurit untuk membunuh semua tawanan. Dan jadilah, nyawa 1200 orang tawanan Turki yang sedianya akan dibebaskan, melayang sia – sia, hanya karena batuk Sang Jenderal dan telinga seorang Perwira yang Error.
Itulah kira – kira yang menjadi gambaran bagaimana salah pengertian dapat berakibat sangat fatal bagi kita. Namun banyak dari kita semua yang cuek akan kebenaran yang sesungguhnya. Kita lebih sering berpegang pada pendapat diri sendiri, dan dengan berkoar – koar mengumandangkan itu sebagai sebuah kebenaran mutlak. Nanti setelah terjadi sesuatu yang buruk, barulah kita sadar bahwa apa yang kita pegang selama ini ternyata salah. Kita sudah terbiasa mengabaikan bukti – bukti yang ada, entah karena salah persepsi ataupun disengaja demi kepentingan diri. Jika kita terus membiasakan diri seperti ini, maka akan menyebabkan tumpulnya hati nurani dan kebiasaan mempertahankan pendapat yang tidak punya bukti (yang dalam bahasa Makassar disebut “Sotta’”) akan menjadi sebuah Trade Mark dalam hidup kita.
Memang harus diakui, banyak orang yang malas untuk mengikuti apa yang benar (sekalipun mereka tahu bahwa itu benar) karena jalan yang benar merupakan jalan yang sulit. Tuhan Yesus sendiri menggambarkan bagaimana untuk mengikut Dia kita harus menyangkal diri dan memikul salib (bdk Mat. 16:24), maka tidak heran kalau banyak yang Tidak Sanggup untuk berada pada kebenaran, dan memilih mempertahankan pandangan diri yang “lebih enak” dengan merekayasa berbagai macam alasan yang hanya akan menambah dosa. Contoh kecil: sanggupkah kita melakukan tindakan tegas kepada teman kita yang terbukti melakukan kesalahan,.?, disinilah terjadi pertentangan antara “Perasaan” dan “Kebenaran”. Jika kita seorang Katolik yang baik, pastilah kita akan memilih Kebenaran. Namun harus diakui ini memang adalah pilihan yang sulit, seperti kata sebuah pepatah: “Memang dibutuhkan kekuatan yang besar untuk melawan seorang musuh, namun dibutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar lagi untuk melawan seorang sahabat”, tetapi sekali lagi kita dihadapkan pada dua pilihan: mau ikut teman.? Atau mau ikut Tuhan.?. Tuhan memberikan kepada kita kehendak bebas untuk memilih, namun ingatlah pertanggungjawaban kita nanti ketika Ia datang untuk kedua kali.
Ada juga orang yang berbuat demikian karena ketidaktahuannya akan kebenaran itu. Oleh sebab itu, janganlah kita bosan dan malas dalam mencari sebuah kebenaran. Sebagai orang Katolik, kita memiliki 3 pilar kebenaran iman, yaitu Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Hendaknya kita memanfaatkan dengan baik ketiga hal ini agar kita dapat melaksanakannya. Sebab tidak mungkin seseorang dapat melaksanakan sesuatu tanpa tahu apa yang mau dilaksanakan. Maka seharusnya kita mencari tahu terlebih dahulu, barulah dilaksanakan. Sebab iman yang kita yakini sekarang merupakan sebuah Proses Pengetahuan.
Tetapi bagaimana mau mengetahui kebenaran iman kalau Alkitab saja tidak pernah dibaca, jarang mengikuti doa atau ibadah, dan tidak pernah mau ambil bagian dalam suatu pelayanan. Orang – orang seperti inilah yang kemungkinan akan mengembangkan pandangan diri menjadi suatu kebenaran mutlak, sebab ia tidak tahu bagaimana kebenaran yang sesungguhnya. Maka adalah kewajiban kita semua untuk mengetahui dan memahami kebenaran itu terlebih dahulu sebelum melaksanakannya, dan janganlah kita melakukan tindakan tanpa memiliki dasar kebenaran ataupun kebenaran yang direkayasa demi gengsi dan kepentingan.
Oleh sebab itu marilah bersama – sama kita meninggalkan kepentingan diri dan mencari kebenaran yang sesungguhnya lewat pelayanan dengan kasih setia dalam Roh dan Kebenaran. Serta berani belajar untuk menyangkal diri dan memikul Salib walaupun berat, Sehingga kita tidak menjadi seperti perwira dalam cerita di atas yang salah mendengar pesan Sang Jenderal, melainkan sebaliknya, kita menjadi seorang yang mampu mengartikan dengan benar dan melaksanakan pesan dari Pemimpin Besar kita, Tuhan Allah Tritunggal Maha Kudus.*
Ditulis Oleh: APRILIAN VINSENSIUS TIMANG (SIPIL '07)